(Wonosobo) Bertema “Nyawiji Ati Sajroning Pependaga” (Bersatu Hati Dalam Pependaga), Badan Pelaksana Klasis Pekalongan Barat, mengadakan kegiatan Pepandaga (Pertemuan Pendeta dan Keluarga). Acara yang digelar selama dua hari, Kamis-Jumat (29-30/06/2023) di Wonosobo diikuti oleh 6 pendeta beserta keluarga, yaitu : Keluarga Pdt. Agus Yusak, S.Th, M.Min (GKJ Brebes) Keluarga Pdt. Kristianto, S.Si (GKJ Mejasem). Keluarga Pdt. Trombin Naftaliyus, S.Si (GKJ Moga), Keluarga Pdt. Dr. Achmad S. Wiratmo, S.Th, M.Min (GKJ Pemalang), keluarga Pdt. Dr. Sugeng Prihadi, M,Min, M.Th (GKJ Slawi) dan keluarga Pdt. Bernadus M, Ekslimawan, S.Si (GKJ Tegal). Selain 6 pendeta yang sudah berkeluarga, ada 1 pendeta yang belum berkeluarga dan ikut, yaitu Pdt. Joshep Kristanto, S.Ag (GKJ Pemalang)
Pendeta dengan tugas utama melayani jemaat yang dipercayakan Tuhan, membutuhkan dukungan keluarga. Peranan istri dan anak memiliki makna penting dalam pelayanan. Seperti yang di tuturkan oleh Pdt. Achmad Wiratmo saat mengawali pelayanan, ia mengalami berbagai macam tantangan dan pergumulan.
“Pergumulan saat berproses menjadi pendeta dengan studi bidang ilmu teologia di Program S-2 Master of Ministri Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, ibundanya sakit. Motornya hilang dan saya harus kuliah S-1 Teologi. Hal ini dikarenakan S-2 nya program Ministri. Lebih menekankan pada pelayanan. Saya harus punya dasar ilmu teologi. Saat itu saya kuliah S-1 di STAK Marturia Yogyakarta, sekaligus S-2 di Duta Wacana” ungkapnya dalam sharing bersama.
Lebih lanjut dipaparkan, dorongan istri membantu dirinya selama melayani jemaat. Gereja yang terletak di kota Pemalang, dengan segala keunikkan dan konteks jemaatnya.
Lain halnya dengan Pdt. Kristianto Himawan. Konsep ideal yang ia miliki, ingin melayani di jemaat besar. Jemaat yang sudah tertata dan mandiri. Namun apa dikata, panggilan Tuhan pada dirinya justru di tempatkan di jemaat kecil. Dengan berbagaimacam tantangan. Khususnya dalam hal IMB gereja.
“Menjadi nyaman kalau di tempatkan di gereja mapan. Tidak perlu repot memikirkan hal-hal kecil. Tinggal memfokuskan pelayanan pada jemaat. Memang terselip rasa kecewa. Seiring dengan berjalannya waktu. Pupuslah rasa itu. Saya melihat semangat besar dari jemaat. Di dukung oleh istri Kami termotivasi berjuang bersama. Akhirnya kasih Tuhan nampak di kehidupan jemaat. Kami bersyukur dan berbahagia” jelasnya.
Gambaran dan kesulitan juga dialami oleh Pdt. Bernadus. Dirnya menggambarkan seperti Nabi Elia yang berjumpa dengan janda di Sarfat. Keduanya saling menopang. Nabi Elia tertopang saat berada di rumahnya, sementara itu janda di Sarfat tertopang dengan mukjijat Allah, melalui Nabi Elia. Terus menerus menerima gandum dan dapat dibuat roti.
“Refleksi saya di GKJ Tegal nanti saat memasuki 15 tahun masa pelayanan, perjumpaan dengan para janda yang di tinggal oleh suaminya, karena sakit dan meninggal. Setidaknya memberi makna saling menopang. Seperti Nabi Elia, keberadaan saya dapat smenopang seluruh jemaat.” ujarnya.
Sisi lain, pengalaman iman yang dialami oleh Pdt. Trombin, manakala dipanggil dan diproses menjadi pendeta, dirinya dalam keadaan ‘terluka’. Demikian juga jemaat yang memanggil, dalam keadaan yang ‘terluka’ juga. Sama sama terluka, dengan latar belakang yang berbeda, membuahkan proses pemulihan bersama. Sehati. Gayung bersambut. Dirinya dapat diterima oleh jemaat GKJ Moga. Keberadaannya memulihkan dirinya dan jemaat.
“ Semua terjadi karena anugrah Tuhan. Refleksi saya rasanya ‘kok ora pantes’, dengan kondisi seperti ini menjadi pendeta. Menjadi sosok panutan di depan ratusan jemaat. Namun, karena doa dan dukungan istri dan anak-anaknya, semua dapat dijalani dengan baik” ungkapnya.
Ketidak tertarikan menjadi pendeta rupanya dialami oleh Pdt. Joshep. Tidak terfikir olehnya akan seperti ini. Ajakan pendeta jemaatnya dalam berbagaimacam pelayanan, menghantarkan dirinya menjadi pendeta.
“Jujur saja, saya saat itu tidak ada bayangan menjadi pendeta. Lambat laun, dengan sering diajak pelayanan, akhirnya saya menerima panggilan Tuhan” ujar pendeta yang masih lajang ini.
Sharing bersama bertempat di Krishna Resto Garden, dimaknai oleh Pdt. Agus Yusak sebagai pengalaman iman. Adanya kesamaan dinamika panggilan dan pelayanan. Berangkat dari kondisi yang lemah dan rapuh, Allah berkenan memproses menjadi bejana yang indah.
“Kondisi kita yang rapuh dan lemah, dalam pandangan Allah kita berharga. Kasih Allah berkenan membentuk kita menjadi bejana indah. Mari kita syukuri dan wujudkan malam ini dengan memuji Tuhan”. ajaknya untuk menyanyikan lagu Bagaikan Bejana.
Di tempat terpisah Pdt. Sugeng Prihadi mengatakan pependaga merupakan bentuk pembinaan antar pendeta dan keluarga.
“Tugas pelayanan pendeta pada jemaat dapat dikatakan berat. Seandainya, bila pendeta sendiri memiliki pergumulan kepada siapa ia harus mengadu? Tentu kepada rekan sepelayanan. Sesama pendeta” pungkasnya.
Pependaga pada hari pertama diisi sharing pengalaman pelayanan. Hari kedua dilanjutkan dengan keakrapan keluarga dengan mengunjungi beberapa obyek wisata di Dieng. (K.R.T.)