gkjslawi.com (Slawi) – Dapat dikatakan bahwa orang Jawa memiliki tradisi pemikiran yang sering dipandang aneh dan unik. Bersifat metafisik. Suatu pemikiran yang berkaitan dengan proses analisa atas sebuah hakekat fungdamental, berkenaan keberadaan dan realitas yang menyertainya. Mulder menyebutnya lekat dengan mistikisme atau mistisisme.
Tradisi pemikiran metafisik itu diaplikasikan dalam segala aspek budaya. Baik itu yang bersifat material, atau non-material. Melalui upacara kebudayaan tersebut mewujud. Misalnya melalui upacara ritual. Diawali tradisi sebelum kelahiran sampai upacara pasca kematian. Dari bentuk arsitektur sampai cara berpikir masyarakat dimana ia berada.
Simbol kadang menjadi cara bagaimana orang Jawa memaknai tentang kehidupan. Sebab bukan rahasia umum lagi bagi orang Jawa terkait dengan Simbol. Sebagai seorang ibu yang mengajar Bahasa Jawa, ibu Susantiningsih cukup lekat dengan Budaya Jawa.
“Orang Jawa memang dikenal dengan simbol, sehingga sering disebut Wong Jawa enggone semu. Artinya Orang Jawa jarang menampilkan sesuatu yang nyata sebagai bentuk realitas. Tindakkannya kadang diwujudkan dengan simbol. Misalnya dalam mengawali renovasi gedung gereja, ada simbol lorodan gendeng/genteng” ujar Susanti yang waktu itu mewakili wanita jemaat menurunkan genteng dari atap gereja.
Memaknai lorodan gendeng/genteng sebagai bentuk awal kepasrahan jemaat. Genteng dalam struktur tubuh manusia diibaratkan sesuatu yang berada paling atas. Sebagai rambut yang berfungsi untuk melindungi panas matahari. Menahan debu dan kotoran. Sebagai hiasan rambut dikatakan sebagai mahkota.
Genteng dengan fungsi dan hiasan itu diturunkan. Berarti ada kerelaan melepas semuanya itu demi proses selanjutnya. Akan ada renovasi. Memugar keindahan bangunan lama dan akan dibentuk bangunan yang tentu lebih indah dari bangunan lama. Menurut Pdt. Sugeng Prihadi proses itu dimetaforakan seperti kepongpong yang bermetamorfosis. Mau berubah bentuk. Dengan simbol awal di lorod atau diturunkan dahulu kemudian dibangun menjadi sesuatu yang baru. Berbeda dengan bangunan lama.
“Perubahan bentuk bangunan dalam renovasi diawali dengan lorodan gendeng. Kesadaran awal untuk dirubah menjadi bentuk yang baru” ungkap Sugeng selaku pendeta jemaat GKJ Slawi.
Kerinduan dari jemaat. Memiliki gedung yang represantatif. Setidaknya saat orang tua beribadah, anak-anakpun ikut ibadah di ruang lain. Dalam kebaktian anak. Keluarga pada hari Minggu semua dapat beribadah di gereja. Dengan ruang yang berbeda sesuai dengan kategorialnya.
“Kami ingin memfasilitasi jemaat dalam beribadah. Setidaknya sekali dalam perjalanan semua anggota keluarga dapat beribadah bersama. Sementara ini, hal itu belum dapat terjadi. Hal ini disebabkan waktu itu gereja hanya terdapat dua bangunan. Bangunan utama untuk ibadah, sementara itu bangunan pendukung adalah konsistori. Tidak ada bangunan pendukung untuk ibadah anak Sekolah Minggu” tutur Hasta Handayani seusai memberi sambutan dalam persekutuan doa perobohan gedung gereja pada tanggal 1 Agustus 2022.
Setahun sudah renovasi telah berjalan. Kerinduan jemaat semakin besar untuk segera menggunakan. Meski belum seratus persen jadi. Kiranya ini juga menjadi simbol dengan menggunakan gedung yang belum jadi secara sempurna. Ada gerakkan moral yang terwujud. Melalui persembahan material. Semua untuk menyempurnakan bangunan yang disebut gereja. (K.R.T.)