Come away by yourselves to a deserted place and rest a while (Mark 6:31).
Alice Roosevelt Longworth mengatakan, “Saya punya filosofi sederhana. Isi yang kosong dan kosongkan apa yang terlalu penuh…” Persis seperti itulah filosofi retreat. Ia mengosongkan yang penuh dan mengisi yang kosong. Waermilton.blogspot.com mengatakan bahwa retreat mempunyai arti menarik diri atau mengasingkan diri. Retreat adalah aktivitas mengasingkan diri dari keramaian atau kesibukan rutin dan pergi ke suatu tempat sepi selama beberapa waktu untuk beristirahat atau untuk memusatkan perhatian pada hal-hal tertentu. Dalam konteks kegiatan gereja, makna retreat juga tidak jauh dari pengertian itu. Ia diartikan sebagai kegiatan mengasingkan diri untuk menyegarkan kembali iman dan spiritualitas jemaat gereja.
Dengan filosofi retreat itulah GKJ Slawi menyelenggarakan “Kegiatan Rekreatif Intergenerasional Jemaat GKJ Slawi di Rumah Retreat OMI Kaliori Banyumas.” Temanya: “Satu Hati dalam Kasih sebagai Keluarga Allah.”Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari, dari Sabtu, 20 Oktober 2018 hingga Minggu, 21 Oktober 2018. Jemaat GKJ Slawi yang mengikuti retreat bisa pergi ke rumah retreat OMI Kaliori dengan dua pilihan moda transportasi: bis pariwisata atau kendaraan pribadi.
Rombongan jemaat yang ikut bis, pada hari Sabtu, 20 Oktober 2018 jam 12.30 WIB, berkumpul di rumah mendiang Bapak Panut yang beralamat di Jl. Gelatik Nomor 29 A Slawi Kulon, di sebelah timur lapangan asrama polisi Kalibliruk. Bis parkir di samping lapangan asrama polisi itu. Setelah rombongan berkumpul lengkap, bis berangkat pada jam 13.30 WIB.
Bis mengambil rute Ajibarang-Bumiayu-Purwokerto meski jalur itu diperkirakan akan tersendat, bahkan macet, karena adanya perbaikan jalan berupa pengecoran beton di beberapa ruas jalan. Di Paguyangan apa yang diprediksi benar-benar terjadi. Jalanan macet, dan bahkan untuk waktu yang terbilang lama. Kendaraan mengular hingga belasan kilometer. Kondisi ini membuat bis tiba di rumah retreat OMI Kaliori lebih lama dari waktu yang telah ditentukan.
Cukup lama juga jarak waktu antara kedatangan jemaat yang menumpang bis dengan mereka yang menggunakan mobil pribadi. Tak mengapa, yang penting selamat sampai tujuan. Setelah bis diparkir di halaman rumah retreat OMI Kaliori, satu persatu jemaat turun dari bis. Masing-masing sibuk dengan barang bawaan mereka. Tas-tas beroda berderak menyusur jalan setapak. Suasana lengang berubah riuh. Beberapa jemaat menuju ruang makan untuk mengambil makanan ringan. Ada ketela, pisang dan kacang rebus serta teh hangat di sana. Beberapa yang lain langsung menuju ke kamar masing-masing. Pengumuman pembagian kamar telah dipasang pada tembok muka ruang makan. Sebelumnya pembagian kamar juga telah diwartakan melalui media whatsapp.
Untuk jemaat yang baru pertama kali ke situ, bisa dipastikan pemandangan di rumah retreat OMI Kaliori akan membuat mereka terkesan. Lingkungannya bersih. Rumputnya rapi dengan warna hijau tua yang segar. Di latar belakang rumput hijau itu mata kita akan langsung menatap bangunan-bangunan yang tampak baru dengan namanya masing-masing yang terpampang di tembok muka bagian atas. Ada Fransiskus, Sirilus, Yohanes dan yang lain. Kontur tanah di rumah retreat ini berliku dan curam. Jika kita hendak menuju wisma tempat menginap, maka kita akan berjalan menurun, sebaliknya kalau kita meninggalkan wisma maka kita akan berjalan mendaki. Untuk orang-orang tua mungkin kondisi geografis seperti ini akan menyulitkan, khususnya untuk mereka yang sudah mempunyai keterbatasan dalam berjalan kaki. Rumah retreat Maria Imakulata ini, meski tampak baru, rupanya sudah ada cukup lama juga. Rumah retreat ini diberkati dan diresmikan oleh Uskup Purwokerto, MGR. P.S. Hardjasoemarta, M.Sc., pada 30 Juli 1995.
Setelah semua jemaat mandi dan berganti baju, kini acara siap untuk dimulai. Keterlambatan bis yang cukup lama rupanya berimbas pada terjadinya perubahan jadwal acara retreat. Pendeta Sugeng Prihadi mengundurkan waktu ibadah pembukaan dari jam 17.30 WIB menjadi jam 18.00 WIB dan menunda kegiatan sharing kategorial yang sedianya dilaksanakan setelah ibadah pembukaan ke bulan November 2018 di GKJ Slawi. Itu artinya sharing kategorial itu tidak jadi dilaksanakan dalam retret keluarga ini. Sekitar jam 18.00 WIB acara dimulai. Ibadah pembukaan dilangsungkan di ruang pertemuan, dipimpin oleh Bapak Tri Agus Santoso dengan organis mas Samuel. Sekitar jam 17.00 WIB ibadah selesai, dan jemaat berarak masuk ruang makan untuk makan malam.
Beberapa saat ketika aktivitas makan malam sudah mendekati akhir, bunyi kentongan besi berdentang memecah malam. Bunyi yang dihasilkannya mirip dengan suara tiang listrik yang dipukul bertalu-talu oleh peronda malam di kampung-kampung. Kalau di kampung bunyi itu menanda tengah malam, jam 00.00 WIB, maka di rumah retreat ini bunyi kentongan besi itu adalah pesan bahwa waktu makan malam telah usai. Saat itu waktu menunjuk jam 19.30 WIB.
Jemaat kembali memasuki ruang pertemuan. Kegiatan berikutnya adalah pembinaan iman intergenerasional yang dibawakan oleh Pendeta Maria Puspita dengan moderator ibu Teteki Pujiastuti. Acara diawali dengan tepuk semangat. Semua pun bersemangat. Ibu Maria Puspita, S.Si. adalah pendeta GKJ Purwokerto. Beliau lahir di Jakarta, dan sudah tinggal di Purwokerto selama 16 tahun. Ibu Maria mengawali pembinaan iman dengan sebuah pertanyaan, “Kalau Bapak, Ibu, Saudara dapat dua tiket ke Korea, dan tiket yang satu untuk diri sendiri, siapa yang akan Bapak, Ibu, Saudara ajak?” Jemaat berpikir sesaat, kemudian beragam jawaban muncul. Dari semua jawaban, ada satu persamaan, yaitu orang yang diajak pergi adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan jemaat pemberi jawaban.
Ibu Maria kemudian mengatakan bahwa kita cenderung untuk memilih pribadi yang menguntungkan diri kita. Inilah salah satu hal yang menyebabkan kita kesulitan untuk berinteraksi secara antargenerasi atau intergenerasional. Satu generasi tidak memahami generasi yang lain. Generasi yang satu menganggap generasi yang lain sebagai gangguan. Orang tua menganggap anak-anak tidak tahu aturan dan sopan santun, sementara anak-anak menganggap orang tua otoriter dan ketinggalan zaman. Di gereja, orang tua seringkali menganggap anak-anak hanya mengganggu ketenangan beribadah, sementara anak-anak merasa bosan dengan suasana ibadah yang hanya memberi ruang untuk orang tua. Ibu Maria mengatakan bahwa di samping kendala psikologis itu, hal yang menghambat interaksi antargenerasi adalah karena gereja cenderung secara strict mengelompokkan jemaat secara kategorial. Mereka dikelompokkan ke dalam kategori anak-anak, remaja, dewasa, janda, orang tua dsb. Masing-masing dipisah karena dianggap berbeda secara intelektual.
Ibu Maria mengatakan bahwa Yesus sudah memberikan contoh pelayanan intergenerasional, hanya sayangnya saat ini banyak gereja yang melupakan model pelayanan seperti itu. Ibu Maria memberikan beberapa contoh. DalamYohanes 6:1-15, saat Yesus memberi makan 5.000 orang, Dia tidak memisah-memisahkan orang berdasarkan kategori. Tidak juga memisahkan anak-anak dan perempuan dari kelompok laki-laki. Semua berkumpul jadi satu. Dalam Markus 10:14, Yesus menerima anak-anak untuk datang dan diberkati, dan bukan meninggalkan mereka. Dalam Lukas 2:41-52, Yesus yang berumur 12 tahun berdiskusi bersama dengan orang-orang dewasa di Bait Allah. Ya, kanak-kanak Yesus tidak terpisah dari orang-orang dewasa di Bait Allah.
Ibu Maria Puspita kemudian membuat metafora tentang taman bunga. Bunga-bunga yang berbeda kalau ditata dengan baik maka taman akan tampak menjadi indah,bahkan sangat indah. Pelayanan intergenerasional pun bisa seperti itu karena ia bertujuan untuk membangun suasana saling belajar dan saling bergantung. Hal ini akan menjadi jembatan yang mengatasi perbedaan antargenerasi. Pengelompokan secara kategorial perlu, tetapi harus dipertemukan supaya terjalin pemahaman dan kerjasama intergenerasional. Pelayanan model ini tidaklah mudah. Ia harus terus dibangun, dilatih, diperjuangkan dan dikembangkan. Tidak lupa Ibu Maria juga mengingatkan bahwa salah satu kunci keberhasilan pelayanan intergenerasional adalah adanya penghargaan terhadap yang lain. Kita harus belajar untuk menghargai kontribusi orang lain sekecil apapun. Seringkali kita lebih suka mengkritik, menyalahkan dan jarang mengucapkan terima kasih. Terima kasih. Ya, terima kasih. Kapan terakhir kali kita mengucapkan terima kasih?
Renungan yang dibawakan oleh ibu Maria Puspita selama kurang lebih satu setengah jam tak terasa berakhir. Jemaat rehat sejenak untuk mengikuti acara berikutnya, yaitu malam kesenian. Masing-masing wilayah menampilkan kesenian yang melibatkan anak-anak, remaja, pemuda dan orang tua. Yang berani tampil beda, dan karenanya tampak mencolok, adalah kelompok dari wilayah Procot-Kudaile. Pak Agus dkk. tampil dengan mengenakan t-shirt putih dengan celana blue jeans. Di leher mereka terlilit syal kotak-kotak merah putih yang menggantung hingga dada atau perut, sedang di kepala bertengger topi cowboy besar warna krem terang. Mereka menyanyi dan menari dengan semangat dan penuh energi. Suasana malam pun kian semarak. Parade kesenian yang heboh ini selesai jam 21.50 WIB dan keseluruhan acara malam itu ditutup dengan doa oleh Bapak Suyanto. Sekitar jam 22.00 WIB jemaat meninggalkan ruang pertemuan dan beristirahat di kamar masing-masing.
Paginya, Minggu, 21 Oktober 2018, jemaat berkumpul di halaman rumah retreat pada jam 05.30 WIB dan bersama-sama melakukan senam Maumere. Lagunya unik dan terasa asik untuk senam. “Putar ke kiri he… ke kiri… ke kiri… Putar ke kanan he… ke kanan… ke kanan…” Jemaat bersama-sama, meski tak beraturan, mengikuti gerakan para instruktur senam. Selesai senam semua jemaat yang mengikuti senam berfoto bersama. Setelah itu beberapa jemaat berjalan-jalan ke lingkungan sekitar rumah retreat. Beberapa yang lain langsung menuju kamar masing-masing untuk mandi pagi dan persiapan ibadah. Setelah semua mandi dan berpakaian rapi, jemaat masuk ke ruang makan untuk sarapan. Makanan dan minuman yang hangat telah tersedia di situ. Memasuki jam 08.00 WIB ibadah raya jemaat GKJ Slawi dimulai. Ibadah dipimpin oleh Pendeta Sugeng Prihadi, S.Th., M.Min. M.Th. Ibadah menggunakan model intergenerasional.
Ibadah dibuka dengan doa. Majelis, yang diwakili oleh Pak Heriyadi, kemudian mengatakan, “Dalam kebersamaan ibadah raya jemaat GKJ Slawi, baik GKJ Slawi Induk beserta Pepanthan Balapulang dan Pepanthan Prupuk, mari kita datang pada pagi hari ini dan bersyukur kepada-Nya atas anugerah cinta kasih dan kekuatan bagi keluarga kita. Oleh karena anugerah cinta kasih dan kekuatan dari Dia, kita dimampukan untuk menjadi utusan-Nya melayani sesama demi kemuliaan nama-Nya. Mari kita puji Dia!” Jemaat serempak berkata, “ Haleluya! Dialah Tuhan Allah kita.” Jemaat kemudian berdiri dan menyanyikan NKB 7:1,3,6 “Nyanyikanlah Nyanyian Baru.” Saat jemaat menyanyi, petugas kebaktian, majelis dan pendeta memasuki ruang ibadah. Di mimbar Pendeta Sugeng Prihadi mengatakan, “Ibadah Minggu ke-3 bulan keluarga ini, khususnya ibadah raya jemaat GKJ Slawi dalam pembinaan intergenerasional di rumah retreat Maria Imakulata Kaliori Banyumas berlangsung di dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Jemaat, kembali secara serempak mengatakan, “Amin, amin, amin.” Ibadah pagi itu berlangsung dengan sangat khidmat.
Dalam ibadah ini anak-anak Sekolah Minggu Pepanthan Balapulang, pemuda-remaja GKJ Slawi dan jemaat dewasa Pepanthan Prupuk mempersembahkan puji-pujian. Persembahan pujian ini merefleksikan pendekatan intergenerasional. Anak-anak, remaja, pemuda dan orang tua bersama-sama mendukung pelaksanaan ibadah raya. Jam 09.30 WIB ibadah selesai. Jemaat istriahat dan menikmati makanan ringan dan minuman. Jam 10.30 s.d. 11.30 WIB dilaksanakan game atau permainan keluarga yang dipandu oleh Seksi Acara. Sekalipun disebut game keluarga, tetapi acara ini sesungguhnya adalah game yang bersifat kategorial. Orang dewasa, lebih tepatnya ibu-ibu, pemuda dan pemudi, melakukan permainan yang terpisah dari anak-anak.
Permainan untuk ibu-ibu, pemuda dan pemudi dipandu oleh ibu Sunarti sedangkan permainan untuk anak-anak dipandu oleh guru-guru Sekolah Minggu. Permainan anak-anak pastinya lebih seru. Balap karung adalah yang terseru dari semuanya. Tidak seperti umumnya balap karung, anak-anak peserta balap karung ini tidak langsung masuk karung untuk kemudian berkompetisi meloncat menjadi yang tercepat ke garis akhir. Saat start, yang ada di depan mereka adalah karung yang masih terlipat rapi. Disinilah drama terjadi. Drama komedi tentunya. Anak-anak tampak kesulitan untuk menentukan mana bagian atas dan bawah karung. Beberapa malah kesulitan membuka lubang karung meski bagian atas karung sudah ditemukan. Satu anak secara dramatis gagal total untuk menemukan lubang karung, dan masih sibuk mencarinya saat peserta yang lain sudah meloncat hingga ke garis finish. Alhasil sang anak malu dan lari ke ibunya untuk menangis tersedu biru. Jam 11.30 WIB semua permainan berakhir dan para pemenangnya mendapatkan hadiah.
Acara selanjutnya adalah rekreasi. Jalan-jalan ke kawasan Gua Maria Kaliori. Meskipun bernama gua Maria, tetapi di sini tidak ada gua alami sebagaimana dibayangkan oleh pengunjung yang baru pertama kali ke sini. Yang ada adalah gua buatan dengan patung bunda Maria di situ. Pada hari Minggu itu, peribadatan umat Katholik sedang berlangsung di gua Maria sehingga kawasan itu dipadati oleh jemaat Katholik yang mengikuti ibadah. Jemaat GKJ Slawi yang berjalan-jalan dengan terpaksa harus melewati bagian belakang tempat peribadatan untuk menuju ke bagian lain kawasan gua Maria, karena hanya itu jalan penghubungnya. Di seberang tempat peribadatan terdapat patung bunda Maria yang sedang memangku jenazah Yesus setelah diturunkan dari Salib. Pemuda dan remaja berfoto di situ. Patung Bunda Maria yang memangku Yesus itu diberkati oleh Duta Besar Vatican, Mgr. Leopoldo Girelli pada 21 September 2008. Patungnya benar-benar bagus. Tampak hidup dan artistik.
Tempat berikutnya yang menjadi puncak jalan-jalan adalah toko suvenir gua Maria. Last but not least. Jemaat GKJ Slawi banyak yang masuk ke toko itu. Melihat, memegang, memilih dan membeli adalah kegiatan yang saling terkait. Tak terpisahkan. Ada yang beli kaos, rosario, gelang, kalung, buku Theologi dan juga minuman. Setelah puas berjalan-jalan, jemaat kembali ke wisma untuk berkemas-kemas pulang. Kini tampaklah jemaat berduyun-duyun keluar dari wisma sambil membawa tas dan barang bawaan lainnya.
Sebelum pulang jemaat makan siang terlebih dahulu. Ruang makan penuh sesak. Jemaat duduk berhadap-hadapan di meja panjang sambil menikmati makanan dan sekali-kali bercakap berbagi pengalaman maupun rencana. Sekitar jam 12.30 WIB jemaat pulang ke rumah masing-masing meninggalkan rumah retreat OMI Kaliori sepi sendiri. Ada banyak kenangan manis tentunya, tetapi di atas semua itu, pembaruan iman dan spiritualitas jemaat adalah segalanya. Saling memahami antar generasi, menghargai kontribusi orang lain dan selalu mengucapkan terima kasih: kiranya itulah tiga berkat retreat yang telah tertabur dan tertanam di jiwa jemaat GKJ Slawi. Kiranya Tuhan senantiasa merahmati.
***
Slawi, 28 November 2018, jam 12.00 WIB.