Sentuhan udara dingin. Gemerisik gesekan daun bambu dan aneja jajanan pasar. Itulah pesona Pasar Slumpring. Pasar yang berada di Desa Cempaka – Bumi Jawa – Kabupaten Tegal, menyuguhkan suasana khas pedesaan. Alam yang terbuka berdekatan dengan tuk Mudal, yang konon dulu merupakan permintaan putri raja. Sebelum dipinang, ia meminta dibuatkan tempat pemandian.
Menurut Abdul Khayyi, pasar Slumpring ini tidak sekedar menjadi pasar tradisional dengan kebijakkan lokal yang menjadi ciri khas. Destinasi wisata pasar ini juga mendukung ekologi. Alam yang harus dipertahankan kelestariannya.
Hutan bambu yang ada menjadi penyerapan air. Bila hutan bambu ini dibabat habis, dalam tanah ini tidak lagi sebagai menyimpanan air. Di bawah lokasi pasar ada tuk Mudal. Air dari tuk itu dapat mengaliri sekitar 200 hektar sawah. Kondisi yang demikian memang harus dijaga. Dipertahankan untuk kelestarian alam.
“Karena letaknya di tengah hutan bambu. Orang Jawa bilang pring, maka dari kondisi itu muncul istilah Slumpring. Pasar buka hanya pada hari Minggu. Mulai pukul 07.00 – 12,00 WIB. Menyuguhkan berbagaimacam kuliner tradisional. Sekitar 40 pedagang berjualan dan semuanya dari desa Cempaka. Hanya penduduk Cempaka yang boleh berjualan di lokasi ini. Pedagang lain boleh jualan, namun diluar arena. Kami tetap memberi keadilan kepada semua pedagang” kata Khayyi selaku Ketua Pokdarwis Pasar Slumpring.
Ciri khas lain yang dapat dijumpai di pasar tradisional ini, alat penukaran barang tidak dalam bentuk uang. Pengunjung harus menukarkan uang dengan koin berbentuk bambu. Setiap koin memiliki nilai Rp. 2.500. Bila harga getuk Rp. 2.500, pengunjung menyerahkan 1 koin tersebut. Pembelian dengan uang rupiah akan di tolak.
“Pasca Pandemi Covid 19 setiap Minggu pengunjung yang hadir sekitar 600 orang. Mereka menukarkan uang dan menjajakan koin, Nantinya akan ditukar denga jajan tradisional. Ada tahu gejrot, dawet, wedang uwuh, pecel, the poci, kopi dan masih banyak aneka jajanan” jelas Udin sambil melayani pengunjung dalam penukaran uang koin.
Salah satu pedagang bernama Taiyah, yang berjualan pecel dan gorengan, mengatakan saat ini pengunjung sudah ramai. Keuntungan didapatkan dari hasil jualan lumayan banyak. Kondisi seperti ini sangat berbeda saat Pandemi. Adanya pembatasan pengunjung ia sulit mendapatkan keuntungan.
“Kami yang hanya jualan satu Minggu sekali tentu ingin mendapat untung sebanyak banyaknya. Syukurlah saat ini pembeli sudah banyak. Lumayan dapat mempertahankan hidup. Dapur tetap ngebul” tutur Taiyah sambil nguleg bumbu pecel dari layah batu.
Sementara itu, Noviana salah satu pengunjung yang baru pertama kami datang, ia merasakan kegembiraannya. Berada di tengah tengah pengunjung. Sibuk mencari menu jajanan dari meja satu ke meja yang lain.
“Rasanya senang datang kesini. Disamping dapat melepas lelah, juga dapat menikmati jajanan pasar yang cukup nikmat” pungkas Noviana.
Tidak sekedar menikmati aneka jajanan. Pengunjung juga dimanjakan dengan lagu-lagu. Dinyanyikan secara live. Pengunjung dengan beralaskan tikar, sambil nyruput teh atau kopi atau wedang uwuh, telinganya dimanjakan dengan alunan lagu merdu dari panggung. Kesejukkan tetap terjaga, meski suasana berada dialam terbuka. Memang pasar Slumpring memiliki pesona yang menyuguhkan aneka rasa. (K.R.T.)